Senin, 06 April 2020

RESENSI NOVEL "BEKISAR MERAH"



Judul                : Bekisar Merah
Penulis             : Ahmad Tohari
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Halaman          : 312 halaman

Bekisar adalah hasil kawin silang dari jenis ayam yang berbeda. Antara ayam kampung dengan ayam kota. Ayam jenis ini mendapat kesan khusus oleh para penyayang unggas atau ayam.
Begitulah Lasiyah, anak blasteran Jepang-Indonesia (Jawa) yang tinggal di sebuah desa pedalaman, Desa Karangsoga, dengan banyak penduduknya yang tak ramah padanya. Gemar menggunjingnya untuk memenuhi kepuasan psikis, seakan tak tahu fakta yang sebenarnya telah mereka ketahui sekian lama. Terlalu terjerumus oleh kedengkian atas pesona Lasi, dan oleh kemiskinan yang memperdaya mereka.

Sampai akhirnya Lasi menikah dengan Darsa, seorang penyadap nira kelapa. Kehidupannya sangat sederhana dan serba pas-pasan namun batinnya bahagia saat itu. Sayangnya para penduduk masih gemar menggunjingnya, mencari kesalahan.
Lalu hidupnya berubah dari ketika Darsa mendapat kecelakaan jatuh dari pohon kepala. Berawal dari itu sampai perceraian mereka karena adanya penyelewengan, dan kemudian Lasi yang terlalu berhutang budi pada seseorang dari Jakarta yang menjebaknya. Membuatnya harus terkurung dalam perkawinan dengan seorang tua, demi menjaga gengsi si orang tua tersebut.
Adat yang selama ini dia ketahui dan dia lakoni membuat kehidupan Jakarta terasa ganjal untuknya. Seperti pernikahan di Karangsoga, menjadi perkawinan di Jakarta. Dan Lasi, meski dia sadar betul perbedaan itu adalah larangan di desanya, dia diam, tak ingin terlihat terlalu kampungan.
Novel ini merupakan salah satu daru tiga karya Ahmad Tohari yang kerap disebut trilogi. Secara khas, Ahmad Tohari melatarkan pedesaan yang termasuk desa pedalaman, sesuai dengan tempat dia hidup sejak masih kecil. Sederhana dan amat nyata dengan berbagai kepercayaan. Alam yang dapat dlihat dengan cepat jika dibayangkan, namun sulit untuk dilihat dalam nyata, walau hanya sekilas. Bukan karena tidak ada, tapi langka.
Ahmad Tohari lebih senang dan lebih sering mendeskripsikan keadaan alam pedesaan dari pada kehidupan di kota seperti Jakarta, tentu saja karena dia lebih mengenal dan lebih alam pedesaan yang sejuk, indah, dan tradisional.
Kian nampak kepedesaannya oleh petuah-petuah klasik tentang kehidupan dan juga dialog-dialog yang hidup oleh gaya bahasa yang pas. Ketakberdayaan mereka menghadapi ketidakadilan akan harga gula dengan harga-harga dan dengan resiko yang mereka tanggung ketika memanjat pohon kelapa yang tinggi menjulang. Ahmad Tohari memang tidak melebih-lebihkan keadaan dalam cerita tersebut, tapi juga tidak meremeh-remehkannya.
Ketidakseimbangan kentara sekali antara jumlah dialog dengan kalimat-kalimat penjelas. Sehingga kebanyakan anak muda tidak dapat begitu menyukai buku ini, menurut saya. Lalu kata-kata yang tidak umum untuk pembaca umum, sering tidak diberi penjelasan secara gamblang pula. Jadi pembaca harus jeli untuk dapat mengetahui dan memahaminya dengan membaca habis buku tersbut. Atau malah harus bertanya atau mencari-cari di luar buku tersebut. Tapi, buku yang baik adalah buku yang dapat membuat kita berpikir ‘kan?

~~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar