Sumber Picture: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Bekisar_Merah
Judul :
Bekisar Merah
Penulis :
Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 312 halaman
Bekisar adalah hasil kawin silang
dari jenis ayam yang berbeda. Antara ayam kampung dengan ayam kota. Ayam jenis
ini mendapat kesan khusus oleh para penyayang unggas atau ayam.
Begitulah Lasiyah, anak blasteran
Jepang-Indonesia (Jawa) yang tinggal di sebuah desa pedalaman, Desa Karangsoga,
dengan banyak penduduknya yang tak ramah padanya. Gemar menggunjingnya untuk
memenuhi kepuasan psikis, seakan tak tahu fakta yang sebenarnya telah mereka
ketahui sekian lama. Terlalu terjerumus oleh kedengkian atas pesona Lasi, dan
oleh kemiskinan yang memperdaya mereka.
Sampai akhirnya Lasi menikah
dengan Darsa, seorang penyadap nira kelapa. Kehidupannya sangat sederhana dan
serba pas-pasan namun batinnya bahagia saat itu. Sayangnya para penduduk masih
gemar menggunjingnya, mencari kesalahan.
Lalu hidupnya berubah dari ketika
Darsa mendapat kecelakaan jatuh dari pohon kepala. Berawal dari itu sampai
perceraian mereka karena adanya penyelewengan, dan kemudian Lasi yang terlalu
berhutang budi pada seseorang dari Jakarta yang menjebaknya. Membuatnya harus
terkurung dalam perkawinan dengan seorang tua, demi menjaga gengsi si orang tua
tersebut.
Adat yang selama ini dia ketahui
dan dia lakoni membuat kehidupan Jakarta terasa ganjal untuknya. Seperti pernikahan
di Karangsoga, menjadi perkawinan di
Jakarta. Dan Lasi, meski dia sadar betul perbedaan itu adalah larangan di
desanya, dia diam, tak ingin terlihat terlalu kampungan.
Novel ini merupakan salah satu
daru tiga karya Ahmad Tohari yang kerap disebut trilogi. Secara khas, Ahmad
Tohari melatarkan pedesaan yang termasuk desa pedalaman, sesuai dengan tempat
dia hidup sejak masih kecil. Sederhana dan amat nyata dengan berbagai
kepercayaan. Alam yang dapat dlihat dengan cepat jika dibayangkan, namun sulit
untuk dilihat dalam nyata, walau hanya sekilas. Bukan karena tidak ada, tapi
langka.
Ahmad Tohari lebih senang dan
lebih sering mendeskripsikan keadaan alam pedesaan dari pada kehidupan di kota
seperti Jakarta, tentu saja karena dia lebih mengenal dan lebih alam pedesaan
yang sejuk, indah, dan tradisional.
Kian nampak kepedesaannya oleh
petuah-petuah klasik tentang kehidupan dan juga dialog-dialog yang hidup oleh
gaya bahasa yang pas. Ketakberdayaan mereka menghadapi ketidakadilan akan harga
gula dengan harga-harga dan dengan resiko yang mereka tanggung ketika memanjat
pohon kelapa yang tinggi menjulang. Ahmad Tohari memang tidak melebih-lebihkan
keadaan dalam cerita tersebut, tapi juga tidak meremeh-remehkannya.
Ketidakseimbangan kentara sekali
antara jumlah dialog dengan kalimat-kalimat penjelas. Sehingga kebanyakan anak
muda tidak dapat begitu menyukai buku ini, menurut saya. Lalu kata-kata yang
tidak umum untuk pembaca umum, sering tidak diberi penjelasan secara gamblang
pula. Jadi pembaca harus jeli untuk dapat mengetahui dan memahaminya dengan
membaca habis buku tersbut. Atau malah harus bertanya atau mencari-cari di luar
buku tersebut. Tapi, buku yang baik adalah buku yang dapat membuat kita
berpikir ‘kan?
~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar