Jumat, 31 Maret 2017

Review Film Beauty and The Beast 2017; Menjadi Diri Sendiri menemukan Sosok yang Klik

Judul Film                        :  Beauty and The Beast (2017)
Nama Sutradara               :  Bill Condon
Nama House Production  : Disney's
Tahun Terbit                     :  2017
Durasi                               : + 120’





Bulan Maret yang penuh pressure ini membuat saya merasa sangat perlu untuk sedikit mengambil waktu refreshing/quality time. Kemudian muncul iklan penayangan Film Beauty and The Beast ini di pertengahan bulan Maret. Hal ini membuat saya sangat bersemangat karena saya bisa melihat Hermione Granger Emma Watson setelah sekian lama film ketujuh Harry Potter tamat. Lebih lagi dari yang saya dengar, Hermione Emma akan bernyanyi di film ini. Maka menonton lah saya dengan sahabat saya, sekalipun harus dilakukan pada akhir pekan yang harga tiketnya jauh lebih mahal dibanding hari-hari kerja biasa.

Sebetulnya bukan salah filmnya juga. Mungkin sayanya yang kurang mencari informasi genre film ini. Sekalipun ini adalah dari kisah dongeng yang sudah sering kita tonton semasa kanak-kanak, saya tidak menyadari bahwa film ini pun akan bergenre drama. Membuat kepala saya agak pusing karena menonton film yang selalu bergerak setiap detik, di setiap inch layar.

Tarian, efek animasi benda-benda yang terus bergerak, dan sebagainya.

Well, kebetulan ini termasuk pertama kalinya saya menonton film bergenre drama dengan serius, di layar yang besar, yang membuat mata saya terus berputar-putar kesana kemari, tidak ingin melewatkan detil apapun, mencoba mencari sesuatu.

Ya. Sesuatu. Sebelumnya saya mendengar host di sebuah radio bahwa menurut mereka film ini mengajarkan hal yang tidak baik, yakni sekalipun si laki-laki (Beast) jelek/buruk rupa, selama dia kaya maka si perempuan akan tetap mau.

Statement tersebut menghantui saya selama film berlangsung, membuat saya terus mencari-cari hal yang dapat mematahkan statement tersebut. Di sisi lain, saya juga merindukan Emma Watson yang telah memerankan Hermione dengan sangat apik, dan mencoba melihat apakah Emma dapat memerankan Belle dengan baik. Pasti susah untuk lepas dari bayang-bayang Hermione Granger yang telah mengambil masa-masa remajanya selama hampir satu dekade. Pasti juga susah bagi saya untuk melihat Emma sebagai sosok bukan Hermione Granger, karena saya termasuk fans Harry Potter yang selalu mengikuti filmnya selama masa remaja saya.

Dalam hal ini, dapat saya katakan bahwa saya agak setuju dengan komentar-komentar di luar bahwa Hermione Emma memang cocok jadi Hermione saja. Saya mencoba untuk mengamati setiap detil ekspresi Belle, akan tetapi saya merasa Emma belum bisa sepenuhnya menjadi sosok Belle yang halus dan lembut. Sekalipun Hermione juga adalah orang yang hatinya lembut dan penuh kasih sayang terutama kepada sahabat-sahabatnya (Harry dan Ron), sosok Belle memiliki kelembutan cara yang berbeda. Senyum Emma, belum bisa mencerminkan sosok Belle yang telah kita kenal bahkan sebelum J. K. Rowling mulai menulis buku Harry Potter.

Hingga sampai di penghujung film yang jujur membuat saya bosan, akhirnya, saya belum juga menemukan sesuatu yang saya cari, yang saya tunggu-tunggu. Jujur saya cukup kecewa telah menonton film ini. Ya mungkin karena saya juga yang tidak biasa menonton film drama yang didominasi oleh nyanyian dan tarian. Meski demikian saya juga tidak menemukan sesuatu yang khusus, sesuatu yang spesial dari film ini. Film ini sangat mirip, persis sama, dengan yang versi kartun. Padahal bayangan saya film ini akan jadi seperti Maleficent ataupun Snowhite and The Huntsman yang merupakan film berdasarkan dongeng, akan tetapi difilmkan dengan alur berbeda. 

Well, hal yang positif dari film ini menurut saya hanyalah Emma yang menyanyi, dan saya sangat suka itu. Melihat bakat lain dari Emma yang belum saya lihat selama dia menjadi Hermione.


Oh ya, dari sisi alur, sebetulnya saya juga masih bingung. Padahal ketika Belle bernyanyi di awal-awal film, dia membicarakan tentang mimpinya untuk berpergian jauh dan terus menambah wawasannya. Tapi ujung-ujungnya kan dia bersama pangeran dan tinggal di Istana. Jadi bagaimana dengan mimpi-mimpinya tersebut, yang juga menjadi alasan dia tidak mau menerima cinta Gaston?

Kekecawaan ini terus berada dalam pikiran saya. Saya ingin menyangkal statement dari host sebuah radio tersebut. Akan tetapi saya tidak bisa menyangkalnya.

Jika benar kekayaan mengalahkan segalanya.... bukankah Gaston pun juga dapat dibilang hidup dengan berlebih? Meski tidak seberlebih Pangeran Beast. Tapi kan Gaston juga punya looks/tampilan yang sangat menarik (bagi sebagian besar wanita), dia juga punya nama dan dikagumi banyak orang, dia pemimpinnya.

Jika Belle memang benar berpikir secara materi, maka yang lumayan berlebih secara ekonomi seperti Gaston, sekaligus tampan, punya nama, dan menjadi idaman banyak wanita seperti Gaston akan lebih dipilih Belle kan? Tapi tidak.

Ada yang mengganjal dalam hati saya. Membuat saya terus memikirkan film ini. Apa? Apa yang terlewat dari analisa saya??....

Mengapa Beast dan bukan Gaston. Mengapa memilih Beast dan bukan meraih mimpinya yang tinggi, untuk terus berpetualang. Hingga akhirnya saya menyadari satu hal penting yang sebenarnya telah ditampilkan di awal. Belle dan Hermione memiliki dua kesamaan.

Belle dan Hermione sama-sama penggila buku, dan tidak dapat dipahami di awal cerita, oleh sekitarnya. Hal yang menurut saya memang pernah dialami oleh hampir semua penggila buku di dunia nyata, termasuk saya. TT

Lalu apa kaitannya dengan Gaston dan Beast?

Karena buku adalah dunia mereka (Hermione dan Belle), jati diri mereka. Hasrat untuk terus berkembang dan berpikiran maju. Belle dianggap aneh oleh warga desa karena pola pikirnya, karena kesukannya untuk membaca dibanding berkumpul, berdandan, dan bergunjing; Dunia Gaston. Maka apabila dia bersama Gaston haruskah dia menjadi seseorang lain hanya supaya dapat berbaur sebagaimana Gaston?


Sementara bersama Beast, dia tidak perlu berubah menjadi orang lain, dan tetap dapat menyukai buku sepanjang hidupnya.

Merasa dibedakan oleh warga desa membuat dia bertemu Beast adalah hal yang membuat dia nyaman, merasa klik, merasa sama. Karena Beast tidak menganggap perempuan yang suka membaca adalah hal yang aneh. Beast dapat memahami Belle sementara Gaston tidak. 

Hm... mungkinkah ini yang dimaksud sekufu? Entah.

Yang pasti sekarang saya dapat melihat sisi positif dari film/dongeng ini. Dan saya rasa memang inilah yang ingin disampaikan film ini. Karena dari awal banyak petunjuk-petunjuk yang mendukung hikmah yang akhirnya saya temukan.

Pada akhirnya, saya menyukai film ini. 😍

Secara pribadi hal ini memotivasi saya untuk terus istiqomah menunggu sosok yang klik. :d Yang saya tidak perlu berubah kecuali ke sisi yang lebih baik/positif (meningkatkan ketaqwaan dan memperbaiki akhlaq). J Yang dapat mensupport dan memahami dunia saya, hobi saya.


Karena menjadi lebih baik dan menjadi orang lain itu berbeda....


~~Thanks for reading~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar